Model bisnis game di Indonesia sudah bergeser. Dulu, pengembang game lebih menggantungkan pemasukan dengan menjual game ke konsumen. Kini, justru keuntungan yang lebih besar bisa didapat dengan menjual aksesoris.

Aksesoris game tersebut bisa berupa icon, karakter atau hal-hal terkait game yang digilai seorang gamer. Pergeseran model bisnis ini tak lain lantaran ketatnya persaingan bisnis yang mau tak mau memaksa industri untuk berubah.

Hal itu pun diakui oleh Arief Widhiyasa, Direktur Agate Studio yang merupakan game development asal Bandung. Menurutnya, potensi pasar game Tanah Air, tetapi untuk bisa meraup keuntungan di lahan yang masih basah ini perlu menjalankan bisnis dengan fleksibel, termasuk mengubah model bisnisnya.

"Potensi ada dan masih cukup besar. Tapi kita perlu cara untuk masuk ke pasar. Dengan mengubah bisnis model dari jual game menjadi jual icon di game, saya yakin industri ini makin besar dan makin diminati," ujarnya kepada detikINET usai seminar Game Development & Industry Potential di ITB, Sabtu (4/2/2009) petang.

Arief meyakini, dengan menjual icon dan karakter justru lebih potensial dan lebih besar meraup passive income daripada menjual gamenya sendiri. "Contohnya sekarang ada pemain baru yang melihat karakter temannya sudah memiliki icon-icon yang menarik. Dia pasti akan berusaha bagaimana untuk memiliki icon tersebut," terangnya.

Arief boleh optimistis. Terlebih, pasar game lokal masih terbuka lebar lantaran masih sedikit pemain lokal yang konsisten dalam menggarap game. "Menurut survei, di Amerika pada tahun 2006-2007 growth gamers mencapai 20 persen. Belum ada survei di Indonesia, tapi melihat jumlah penduduk Indonesia, saya yakin potensi games masih terbuka lebar," kata pria yang tengah menyelesaikan kuliahnya di ITB ini.